Ada Bangunan Hotel Umurnya 100 Tahun Lebih


Ke Bandung, mau menginap dimana? Tinggal pilih saja, mana yang sesuai dengan isi kantong. Hotel-hotel berbintang, dan apalagi hotel melati bertebaran hampir di seluruh pelosok kota. Tiap akhir pekan, apalagi menjelang libur panjang, tempat-tempat penginapan diburu pengunjung. “jangan harap bisa mendapat kamar jika tidak booking jauh-jauh hari,” seorang resepsionis hotel bintang tiga mengingatkan.
Bisnis hotel di Kota Bandung telah tumbuh subur, paling tidak jika dilihat dari angka-angka di bawah ini.
Pada tahun 2000, Kota Bandung memiliki 38 hotel bintang, 137 hotel melati, 17 penginapan remaja, dan 4 pondok wisata, sehingga jumlah seluruhnya 196 hotel. Lima tahun kemudian, tahun 2005, kota ini memiliki 215 hotel. Terdiri 52 hotel berbintang dan 163 hotel melati dengan jumlah kamar sekitar 7.800-an.
Para pengelola hotel itu sendiri melakukan perang promosi dengan menampilkan kelebihan fasilitas masing-masing. Ada hotel yang mempromosikan diri sebagai butik hotel karena bagian depannya disulap sebagai butik. Namun, ada pula yang menawarkan fasilitas kafe yang dimiliki, sehingga dinamakan kafe hotel. Kaerna mengetahui tamu-tamunya berkunjung bersama keluarga, sebuah hotel dan guest house memposisikan diri sebagai hotel atau guest house yang bernuansa Islami.
Sebenarnya bukan hanya sekarang Badung menjadi salah satu daerah tujuan wisata. Seorang sobat  dari Jakarta, Enoch Machmudi bilang: “Bandung udah dari sononya jadi tempat istirahat”. Kota ini menjadi pilihan karena memiliki beberapa kelebihan dibanding Jakarta. Udaranya relatif lebih sejuk sehingga Dataran Tinggi Bandung sejak dulu dijadikan tempat istirahat. Selain itu pemandangan alamnya indah.
Citra wisata kota ini sudah dimiliki sejak zaman penjajahan Belanda berkat promosi gencar yang dilakukan Bandoeng Vooruit. Tahun 1922, 1924, dan tahun 1929, Kota Bandung mendapat kehormatan mejadi tempat penyelenggaraan Kongres Teh Dunia, Kongres Pengetahuan Alam dan Kongres Ilmu Pengetahuan  untuk Kawasan Pasifik.
Berdasarkan catatan, pada tahun 1940, sekitar lima persen penduduk Hindia Belanda sempat berkunjung ke Bandung. Sedangkan tahun 1941, sekitar 200.000 orang wisatawan domestik mengunjungi kota ini. Bandingkan dengan penduduk Kota Bandung yang saat itu berjumlah 227.000 orang. Jumlah wisatawan yang cukup banyak, secara langsung telah meningkatkan pemasukan pendapatan dari sekotr pariwisata yang jumlahnya mencapai sekitar F 5.000.000 (Gulden).
Karena itu, tidak heran jika sampai menjelang Perang Dunia Kedua, Kota Bandung sudah memiliki tidak kurang dari 12 hotel yang sekelas dengan Hotel Savoy Homann dan puluhan penginapan atau Pension. Antara lain Grand Hotel Preanger, Hotel Lux Vincent, Flat Complex Olcott park, Hotel Pension Van Hengel, Hotel du Pavillon, Hotel Schomper, Hotel Wihelmina, Pension van Rhijn, Pension Benvento dan lainnya.
Belum lagi tempat menginap seperti villa. Di tangan Fr. J. Van Es, berkat pengalamannya selama lima tahun menangani Hotel des Indes, ia berhasil menciptakan Villa Isola menjadi tempat istirahat yang eksklusif. Bangunan villa lainnya di daerah Dago antara lain Villapark Arnsberg dan Villapark Dagoheuvel.
Di daerah Lembang terdapat Grand Hotel Lembang, Hotel Tangkubanperahu, dan Hotel Montane. Sedangkan di Pangalengan, daerah wisata di Bandung Selatan terdapat Hotel Pension Het Kalfje, Hotel Cileunca, Hotel Pension Citere dan Hotel Pension Vesta. Di daerah Cimahi terdapat Hotel Berglust, Hotel Rustoord dan Hotel Pension Tijhof. Di dapat stasiun Bandung terdapat Hotel Andreas.
 Akan tetapi, seperti bisnis lainnya, bisnis hotel tidak selamanya mulus karena pengaruh situasi politik dan ekonomi. Karena, sebagian besar hotel-hotel tersebut milik orang-orang Belanda atau orang asing lainnya kelangsungan usahanya sangat dipengaruhi situasi politik. Pada akhir tahun 1957-awal tahun 1958, seluruh perusahaan milik Belanda dinasionalisasi. Akibatnya, sebagan besar hotel dan hotel Pension itu mengalami perubahan fungsi. Bahkan tidak sedikit yang kemudian ditutup, sampai akhirnya, bangunannya rata dengan tanah.
Beberapa bangunan hotel/villa di Kota Bandung yang sudah rata dengan tanah antara lain Flat Olcott Park yang terletak di Jalan Merdeka 54, pernah menjadi Hotel Pakunegara. Di depannya terdapat bangunan Apotik Kimia Farma yang dulunya bernama Bavosta. Pada tahun 1980-an, di atas lahan itu didirikan pusat perbelanjaan Bandung Indah Plaza.
Hotel Pension Soeti terletak di Jalan Sumatra 54. Bangunannya mirip rumah tinggal. Menurut cerita seorang rekan, sebelum dijadikan pension hotel, bangunannya merupakan rumah sakit bersalin. Peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Leo de Vries pada tanggal 4 Mei 1920. Karena itu, di sana terdapat patung anak balita yang sedang pipis seraya memegang alat vitalnya. Patung itu kini “Bersembunyi” di suatu tempat di Padalarang.
Hotel Pension Soeti mempromosikan diri melalui motto pelayanannya: Gives you the best service. Tamu-tamu betah di sana karena suasanannya tenang, namun tidak jauh dengan pusat kota. Sore hari jika udara cerah, mereka menikmati cuaca Bandung dengan duduk-duduk di bawah pohon lengkeng yang tumbuh di pojok Jalan R.E. Martadinata dengan Jalan Sumatra. Tetapi, setelah menjadi milik Kelompok Kompas-Gramedia, hotel tersebut dibongkar pada tahun 1994 dan diresmikan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Susil Sudarman pada tahun 1995. Namanya menjadi Hotel Santika.
Senasib dengan Soeti, di Jalan Tamblong terdapat Hotel Pension van Rhijn dan hingga kini masih tetap merupakan hotel dengan nama Hotel Royal Palace setelah sebelumnya bernama Hotel Pension van Rhijn I dan Hotel Istana II. Setelah mengalami perombakan, di seberang hotel tersebut terdapat Gedung Astoria Hotel Istana I yang merupakan jelmaan dari Hotel Pension van Rhijn II.
Hotel Braga di Jalan Braga 8, sebelumnya bernama Wihelmina Hotel. Bangunan Hotel tersebut bertingkat dua dibangun antara tahun 1928-1931. Namun setelah tahun 1990-an, fungsinya berubah bukan lagi sebagai hotel.
Yang disayang adalah bangunan bekas Hotel Swarha yang terletak di jantung kota Jalan Asia-Afrika. Bangunannya yang mirip Hotel Savoy Homann, dibangun tahun 1930 merupakan hasil rancangan arsitek Prof. C.P. Wolff Schoemaker. Bangunan hotel tersebut sudah lama dibiarkan terbengkalai, sehinga menyerupai “rumah hantu” di tengah kota. Padahal, pada masa jayanya, Hotel Swarha merupakan hotel yang bersih dan menempatkan diri sebagai hotel Islami. Tahun 1950-an, tarifnya hanya Rp.19,97/orang tanpa makan. Karena letaknya strategis, hotel tersebut sempat dijadikan markas tempat menginap wartawan-wartawan yang meliput Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955.
Mungkin dan sangat boleh jadi tidak banyak yang tahu bahwa bangunan yang kini dijadikan Kantor Pusat PT. Kereta Api Indonesia (KAI) di Jalan Perintis Kemerdekaan, sebelumnya merupakan bangunan Grand Nationale Hotel yang merupakan tempat menginap para pembesar Belanda.
Masih banyak hotel dan penginapan lainnya yang namanya saja kini sudah tak diingat lagi. Misalnya Pension Lohe, Marianne, Mon Repos, dan masih banyak lagi nama-nama hotel dan hotel pension lainnya.
Kuncen Bandung Ir. Haryoto Kunto mencatat, sejak dibukanya jalur kereta api yang menghubungkan Bandung-Jakarta, hotel dan penginapan mulai bermunculan. Di sekitar stasiun terdapat Hotel Adem Ajem, Bin-Sin, Bandoeng, Cheribon, Family, Hoa An, Lok Pin, Pantjawarna, Pasoendan, Soelawesi, Semarang, Soematra, Thoeng Hoa, Tiong Hoa, Tiong Kok, Tong An, Trio dan Victoria. Selain itu terdapat rumah-rumah pondokan di daerah Belakang Pasar yang biasa digunakan para pedagang menginap/
Meminjam kata mutiara “tua-tua keladi, makin tua mengabdi dan melayani”, ternyata umur hotel tidak selau menjadi faktor pembatas dalam mengembangkan usahanya. Dengan sentuhan kreativitas, hotel-hotel tua ternyata masih mampu mempertahankan diri.bahkan beberapa hotel-hotel, ternyata mampu bersaing dengan hotel sekelasnya.
Hotel Panghegar di Jalan Merdeka 2, pada awalnya milik Ny. Anna Meister seorang warga Italia. Dengan nama Hotel Van Hengel, bangunannya yang pertama dirikan tahun 1924. Tahun 1960, hotel dengan kapasitas 40 kamar itu dijual kepada salah seorang karyawanya yang bernama H.E.K. Ruhiyat.
Berkat ketekunan dan keuletannya, Ruhiyat berhasil mengembangkan hotel tersebut mejadi pionir salah satu hotel berbintang di Kota Bandung. Hotel ini merupakan satu-satunya hotel di Bandung yang melengkapi diri dengan restoran berputar Panyawangan Revolving Restorautant yang sekaligus menjadi ciri khasnya karena merupakan satu-satunya restoran berputar di Indonesia. Jika kita duduk di sana, pengunjung akan menikmati pemandangan seputar Kota Bandung seraya menikmati hidangan makan malam, tanpa harus beranjak dari tempat duduk sedikitpun.
Akan tetapi, hotel bukan hanya merupakan tempat istirahat. Dilihat dari umur dan gaya arsitekturnya, bangunan hotel bisa memberikan sumbangan terhadap salah satu sisi sejarah kota dan perkembangannya.
Hote Savoy Homann Bidakara dan Hotem Grand Preanger Aerowisata terletak di Jalan Asia Afrika yang menjadi jantung kota Bandung. Kedua hotel tersebut dibangun pada saat Bandung mulai menjadi sebuah kota pada awal abad 20.
Di masa lalu, Grand Preanger dan Savoy Homann merupakan dua buah hotel yang dijadikan tempat menginap para pengusaha perkebunan bangsa Beladnda di Priangan yang dijuluki Preanger-planters. Arsitektur bangunan Hotel Preanger pada awalnya Indische Empire, sezaman dengan bangunan yang digunakan Markas Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung di Jalan Merdeka. Jika tidak dibongkar bangunan lama hotel tersebut sezaman dengan bangunan Gedung Kantor Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Barat yang letaknya berdampingan, sehingga kedua bangunan tersebut akan melengkapi sambungan sejarah arsitektur di Kota Bandung yang dimulai dari tahun 1897 hingga 1930.
Namun bangunan lama Kantor Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Barat kemudian diratkan, seolah nasih pendahulunya, yakni bangunan Hotel Preanger.di atas lehan bekas hotel tersebut, pada tahun 1920-an didirikan bangunan baru dengan gaya arsitektur art deco, hasil rancangan Prof. C.P. Wolff Schoemaker sebagaimana kita jumpai sekarang. Walaupun ornamen dan detail interiornya tidak sekaya bangunan sejenis dari aliran art deco di Amerika Serikat dan Eropa, namun kehadirannya mampu memberikan sumbangan dalam peningkatan citra lingkungan tempat berada, sehingga membuatnya identik dengan Kota Bandung. Nama Preanger bersumber dari kata Preangerplanters.
Hal ini pula yang kemudian dijadikan modal dasar revitalisasi hotel tersebut pada tahun 1988 untuk tetap mempertahankan dan meningkatkan cita rasa hotel tersebut sebagai hotel heritage. Sesuai dengan namanya yang menjadi tempat para Priangerplanters, gaya interior maupun perabotan kamar-kamarnya menampilkan sentuhan tempo doeloe dan adanya local flavor yang mencerminkan kekayaan flora dan fauna Priangan.
Priangan tempo doeloe memang selalu membangkitkan inspirasi. Nuansa itu pula yang kemudian dijadikan modal dasar dan sekaligus aset Hotel Savoy Homann pada saat dipegang H.E.K. Ruhiyat dari PT. Panghegar Group pada tahun 1988. Hotel itu kemudian berpindah tangan ke Grup Bidakara pada tahun 2000, sehingga sejak saat itu namanya menjadi Hotel Savoy Homann Bidakara.
Hotel dengan gaya arsitektur art deco hasil rancangan arsitek A.F.Aalbers itu bukan hanya karena letaknya tepat di jantung Kota Bandung sehingga menjadi salah satu tempat pertemuan para pengusaha perkebunan berkebangsaan Belanda. Ketika namanya masih  Grand Hotel Homann sebagai menjadi Hotel Savoy Homann, hotel tersebut dikenal sebagai tempat penting.
Pada akhir pekan, hotel tersebut merupakan tempat pesta kaum Prianganplanters dan persinggahan tamu-tamu terhormat Kota Bandung. Mereka bukan hanya bintang komedian seperti Charlie Chaplin yang ditemati bintang Hollywood Mary Picford dan Sri Mangkunegoro VIII dari Solo, namun masih terdapat deretan panjang nama-nama lainnya. Pada saat diselenggarakan konferensi Asia-Afrika pada bulan April 1955, hotel ini dijadikan tempat bermalam para tamu konferensi. Pantas jika hotel tersebut menggunakan moto: The only historical hotel in the city.
Preanger dan Savoy Homann merupakan dua hotel yang telah membuktikan dirinya bisa melewati sejarah panjang, sehingga akhirnya menjadi salah satu identitas Kota Bandung. Keberhasilan itu antara lain karena keduanya mampu mempertahankan ciri khasnya sebagai bagian dari sejarah masa lalu Dataran Tingggi Bandung.
Mau tahu bangunan hotelpaling tua di Kota Bandug? Salah satunya, tengok saja ke sebelah kanan jalan, begitu kita melewati simpang empat Jalan Kebon Jati dengan Jalan Gardu Jati/Jalan Pasirkaliki (jalan H.O.S. Tjokroaminoto). Bangunan Hotel Surabaya terletak di Jalan Kebon Jati 71 didirikan tahun 1884.
Pada tahun 2006, di Bandung tercatat 52 hotel bintang dengan 3.137 kamar, dan 160 hotel melati dengan 3.311 kamar. Pada hari libur dan libur panjang, tingkat hunian sebagian besar kamar hotel-hotel tersebut memang penuh. Rata-rata mencapai 70-90 persen. Siapa yang tidak tergiur melihat keadaan ini. Tetapi pada hari-hari biasa, tingkat huniannya rata-rata hanya sekitar 30 persen. Sehingga untuk menarik minat pengunjung, tidak sedikit hotel-hotel yang melakukan promosi besar-besaran dengan memberi potongan tarif menginap sampai 40 persen.
Namun, entah dengan pertimbangan apa, para investor masih tetap melirik usaha di bidang perhotelan sebagai salah satu pilihan investasi di Kota Bandung. Menjelang akhir tahun 2006, sejumlah perizinan baru disetujui. Hotel-hotel baru itu dibangun di pusat kota. Tidak mengherankan jika memasuki tahun 2007, dunia usaha perhotelan di Kota Bandung menghadapi persaingan bisnis yang makin tajam.

2 komentar:

  1. Info yang padat pengetahuan, sarat fakta, dan singkat dalam penuturannya ... Terima kasih admin

    BalasHapus